UNDANG-UNDANG NOMOR 12/DRT/1951
Mengingat:
a. pasal 96, 102 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
b. "Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948
No.17);
A. Menetapkan: Undang-undang tentang mengubah "Ordonnantie Tijdelijke
Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 No.17) dan Undang-undang R.I.
dahulu No.8 tahun 1948.
Pasal 1
(1) Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa,
mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia
sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman
mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara
setinggi-tingginya dua puluh tahun.
(2) Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan munisi termasuk juga
segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat (1) dari Peraturan
Senjata Api (vuurwaapenregeling: in, uit, door, voer en lossing) 1936 (Stbl.
1937 No.170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl.
No.278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang
nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib
(merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat
terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.
(3) Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk semua
barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 9 Mei
1931 (Stbl. No.168), semua jenis mesiu, bom-bom pembakar, ranjau-ranjau
(mijnem), granat-granat tangan dan pada umumnya semua bahan peledak, baik yang
merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige chemische verbindingen) maupun
yang merupakan adukan bahan-bahan peledak (explosieven mengsels) atau bahan
peledak pemasuk (inleidende explosieven), yang dipergunakan untuk meledakkan
lain-lain barang peledak, sekedar belum termasuk dalam pengertian munisi.
Pasal 2
(1) Barangsiapa yang tanpa hak memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau
senjata penusuk (slag, steek of stoot wapen), dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sepuluh tahun.
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan
untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib
(merkwaardigheid).
Pasal 3
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang ini dipandang
sebagai kejahatan.
Pasal 4
(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang
dapat dihukum menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan
suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan
kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.
(2) Ketentuan pada ayat (1) dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum,
yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.
Pasal 5
(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana atau terhadap mana sesuatu
perbuatan yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga
bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat (1),
harus dirusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak
Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.
Pasal 6
(1) Yang diserahi untuk mengurus perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah
ditunjuk untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum juga
orang-orang, yang dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk
mengusut kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan
dengan senjata api, munisi dan bahan-bahan peledak.
(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutnya senantiasa
berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk
kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka. Apabila mereka dihalangi
memasukinya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.
B. Menetapkan, bahwa segala peraturan atau ketentuan-ketebtuan dari
peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang ini tidak berlaku.
Tanya
Kenapa Orang yang Membunuh Karena Membela
Diri Tetap Ditahan Polisi?
Saya pernah menemukan suatu kasus, kurang lebih intinya seperti ini: ada
seorang hansip yang menegur sekelompok pemuda yang bermain gitar pada malam
hari. Karena mengganggu orang lain hansip itu menegur. Tetapi teguran itu malah
disambut dengan ancaman. Terjadi pertengkaran yang dilanjutkan dengan
perkelahian. Salah satu pemuda itu melawan dengan menggunakan clurit. Kebetulan
hansip itu bisa bela diri dan dalam perkelahian itu si pemuda tewas dengan
senjatanya sendiri. Hansip itu berhasil membalikkan senjata itu. Menurut hansip
itu ia dalam keadaan terpaksa kalau ia tidak melakukan tindakan itu pasti
hansip itu yang akan mati. Hansip itu sekarang ditahan oleh polisi. Pertanyaan
saya, 1) Kenapa hansip itu yang ditahan padahal ia membela diri? 2) Apa dasar hukumnya
pihak polisi menahan hansip tersebut? 3) Apa pengertian pembelaan diri menurut
hukum kita?
Jawab
- Pada dasarnya, sesuai dengan asas legalitas, setiap perbuatan
tidak dapat dipidana kecuali ada peraturan perundang-undangan yang telah
mengaturnya terlebih dahulu (Pasal 1 ayat [1] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana – “KUHP”).
Secara a contrario dapat diartikan bahwa setiap perbuatan
yang telah ditentukan merupakan perbuatan pidana dalam peraturan
perundang-undangan, dapat dipidana.
Terkait dengan tindak pidana pembunuhan, telah diatur antara lain
dalam Pasal 338 KUHP, “Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
- Dari cerita Anda kita ketahui bahwa petugas Hansip (Satuan
Pertahanan Sipil) tersebut membunuh karena membela diri, sehingga membunuh
bukan dengan sengaja. Dalam ilmu hukum pidana dikenal
alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf:
a. Alasan pembenar berarti alasan
yang menghapus sifat melawan hukum suatu
tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya
(objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor
penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);
b. Alasan pemaaf adalah alasan
yang menghapus kesalahan dari
si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum.
Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif).
Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Sekarang, kami akan menjawab satu demi satu pertanyaan Anda:
1. Memang, petugas hansip itu belum dapat dikatakan
bersalah telah membunuh sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia
bersalah melakukan tindak pidana, tapi baru dijadikan sebagai tersangka yaitu
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana – “KUHAP”).
Pada akhirnya mekanisme pembuktian di pengadilan lah yang akan membuktikan
apakah petugas Hansip tersebut bersalah atau tidak.
2. Pada prinsipnya, hukum pidana
adalah untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai
siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan
didakwa. Untuk tujuan itulah pihak kepolisian harus melakukan penyelidikan dan
penyidikan. Jadi, sangat dimungkinkan seorang
tersangka kemudian ditahan untuk kepentingan penyidikan (dasar hukumnya: Pasal 20 KUHAP.
3. Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” (noodweer)
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang
sangat dekat. Menurut pasal ini orang yang melakukan pembelaan darurat tidak
dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar
karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum.
Tentang Pasal 49 ayat (1) KUHP, R. Soesilo berkomentar
antara lain bahwa supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam “pembelaaan
darurat” dan tidak dapat dihukum harus dipenuhi tiga syarat::
(1) Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan
untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh
dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu
antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan
yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang
lain.
(2) Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya
terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan,
kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
(3) Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.
(selengkapnya lihat R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
cet. 1991, hal. 64-66).
Jika alasan penghapus pidana ini kemudian terbukti, maka hakim
akan mengeluarkan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag
van alle rechtsvervolging). Bukan putusan bebas alias vrijspraak.
Jadi, hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini,
sedangkan polisi hanya mengumpulkan bahan-bahannya untuk diajukan kepada hakim
(R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, edisi 1991, hal. 63).


0 komentar:
Posting Komentar