Dear agan-aganwati sekalian,
Masalah pertanahan ini memang salah satu yang paling sering ditanyakan, baik di forum ini ataupun yang dikirimkan langsung ke Klinik Hukumonline.com. Gak heran sih, soalnya masalah pertanahan ini kan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
nah, dari sekian banyak permasalahan mengenai tanah, ini beberapa pembahasan yang perlu agan-aganwati tahu ya
1. Menjual Tanah Warisan
Spoiler for Menjual
Tanah Warisan:
Ketika misalnya agan2
pengen jual tanah warisan nih, tapi sertipikatnya masih atas nama ortu agan.
Sementara ortu agan dah meninggal dunia semua. Apakah sertipikatnya harus
dibikin dulu atas nama para ahli waris ato bisa langsung dijual dan nanti
dibaliknamakan ke nama pembeli?
Di salah satu artikel hukumonline, notaris Irma Devita, menyatakan bahwa ahli warisnya bisa langsung menjual tanpa harus dibaliknamain terlebih dulu gan.
Namun demikian, ada beberapa hal yg mesti dipenuhi terlebih dulu. Untuk lebih lengkapnya, simak artikel ini aja gan.
Langkah Aman Menjual Tanah Warisan
Di salah satu artikel hukumonline, notaris Irma Devita, menyatakan bahwa ahli warisnya bisa langsung menjual tanpa harus dibaliknamain terlebih dulu gan.
Namun demikian, ada beberapa hal yg mesti dipenuhi terlebih dulu. Untuk lebih lengkapnya, simak artikel ini aja gan.
Langkah Aman Menjual Tanah Warisan
Langkah Aman Menjual Tanah Warisan
Selamat pagi. Sebagai awam di bidang
hukum, saya ingin bertanya tentang penjualan tanah warisan. Saya mempunyai
sebidang tanah dan bangunan di atasnya yang merupakan peninggalan orang tua
kami. Akta waris sudah dibuat atas semua anak-anak. Jika tanah tersebut akan
kami jual, apakah bisa langsung dijual dengan pembuatan akta jual beli, atau
harus dibuatkan dulu sertifikat atas nama anak-anak, baru bisa kami jual?
Terima kasih atas bantuannya.
Kartaagus
Jawaban:
Salam.
Setiap
terjadi peristiwa kematian, dokumen yang harus dimiliki adalah:
1. Surat Kematian yang ditindaklanjuti dengan akta kematian;
dan
2. Surat Keterangan Waris (atau penetapan pengadilan agama
tentang siapa saja ahli warisnya), karena surat tersebut sebagai sumber utama
dan pertama untuk menentukan mengenai siapa-siapa saja yang berhak mewaris.
Lebih lanjut mengenai Surat Keterangan Waris, dapat Anda baca dalam artikel
saya Keterangan Waris.
Terhadap
harta warisan berupa tanah, para ahli waris dapat langsung menjualnya tanpa
harus dilakukan balik nama atas sertifikatnya terlebih dahulu, walaupun pada
proses di Kantor Pertanahan, tetap didahului dengan balik nama warisnya
terlebih dahulu. Untuk itu, terlebih dahulu harus dibayarkan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”) warisnya. Untuk cara perhitungannya bisa
dalam artikel-artikel saya berikut ini:
Selanjutnya
dilakukan proses jual beli seperti biasa. Mengenai dokumen-dokumen jual beli
yang dibutuhkan antara lain:
1. Data tanah, meliputi:
a. Asli Pajak Bumi dan Bangunan 5 tahun terakhir berikut Surat
Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya);
b. Asli sertifikat tanah (untuk pengecekan dan balik nama);
c. Asli Izin Mendirikan Bangunan (bila ada, dan untuk
diserahkan pada Pembeli setelah selesai proses Akta Jual Beli – “AJB”);
d. Bukti pembayaran rekening listrik, telepon, air (bila ada);
e. Jika masih dibebani Hak Tanggungan (Hipotik), harus ada
Surat Roya dari Bank yang bersangkutan;
Catatan:
poin a dan b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional.
2. Data Penjual dan Pembeli
(masing-masing) dengan kriteria sebagai berikut:
a. Perorangan:
·
Copy KTP suami istri;
·
Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah;
·
Copy Keterangan WNI atau ganti nama
(bila ada, untuk WNI keturunan).
b. Perusahaan:
·
Copy KTP Direksi dan Komisaris
yang mewakili;
·
Copy Anggaran Dasar lengkap berikut
pengesahannya dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
·
Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan
Terbatas atau Surat Pernyataan untuk menjual sebagian kecil asset.
c. Dalam hal suami/istri atau kedua-duanya yang namanya
tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual beli
tersebut adalah Ahli Warisnya.
Jadi, data-data yang diperlukan adalah:
·
Surat Keterangan Waris
-
Untuk pribumi: Surat Keterangan
Waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh Camat;
-
Untuk WNI keturunan: Surat
Keterangan Waris dari Notaris.
·
Copy KTP seluruh ahli waris;
·
Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah;
·
Seluruh ahli waris harus hadir untuk
tanda-tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris
kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak
bisa hadir);
·
Bukti pembayaran BPHTB Waris (Pajak
Ahli Waris), dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi
dengan Nilai tidak kena pajaknya.
Lebih
lanjut mengenai jual beli tanah, dapat Anda baca dalam artikel saya JUAL BELI & BALIK NAMA
SERTIFIKAT.
Yang
harus diingat, seluruh ahli waris harus hadir dan menandatangani AJB.Jika
berhalangan, dapat memberikan kuasa tertulis kepada salah satu ahli waris lain,
baik itu kuasa dalam bentuk akta notaris, maupun kuasa di bawah tangan, yang
bermaterai cukup dan dilegalisasi oleh Notaris.
Demikian,
semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Purnamasari,
Irma Devita. Panduan Hukum Praktis Populer, Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam
Memahami Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).
2. "BIaya Tambahan" Dari
Perangkat Desa Dalam Jual-Beli Tanah
Spoiler for ‘Biaya
tambahan’ dari perangkat desa dalam jual beli tanah:
Dalam jual beli tanah,
pasti agan2 sering denger dong istilah pajak jual beli tanah. Nah, di beberapa
tempat di daerah Jawa, ada ‘pajak’ tambahan yg dikenakan oleh perangkat desa yg
biasa disebut dgn uang polorogo.
Bagi masyarakat di pedesaan, keberadaan uang polorogo ini seolah menjadi kewajiban yg makin menguatkan ‘keabsahan’ transaksi jual beli tanah.
Tapi bagaimana dari sudut pandang hukum? Apa sanksinya jika para pihak tdk membayar uang polorogo tsb? Simak artikel ini aja gan
Keberlakuan Polorogo terkait Jual Beli Tanah
Bagi masyarakat di pedesaan, keberadaan uang polorogo ini seolah menjadi kewajiban yg makin menguatkan ‘keabsahan’ transaksi jual beli tanah.
Tapi bagaimana dari sudut pandang hukum? Apa sanksinya jika para pihak tdk membayar uang polorogo tsb? Simak artikel ini aja gan
Keberlakuan Polorogo terkait Jual Beli Tanah
Keberlakuan Pologoro Terkait Jual
Beli Tanah
Apakah hukum pologoro masih berlaku
setelah proses jual beli tanah dilakukan di notaris?
adesupriwidodo
Jawaban:
Perlu
diluruskan bahwa jual beli tanah pada dasarnya dilakukan dengan bantuan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Ini sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang mengatur bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada
praktiknya, ada seorang notaris yang juga sekaligus seorang PPAT. Dalam kondisi
demikian, masyarakat cenderung mencampuradukkan profesi dan jabatan notaris dan
jabatan PPAT tersebut. Padahal mengacu ketentuan peraturan seperti yang disebut
di atas, yang berwenang dalam membuat akta jual beli tanah adalah PPAT.
Selanjutnya
akan dijelaskan mengenai pologoro. “Pologoro” merupakan bentuk pungutan/setoran
dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada perangkat desa, sebagai sumbangan
dari warga untuk operasional pemerintahan desa.
Sebenarnya,
pungutan bernama “pologoro” tidak disebutkan dalam syarat sahnya peralihan hak
atas tanah berupa jual beli di PPAT. Pologoro ini muncul dan dimunculkan oleh
perangkat desa yang pada zamannya sebagai pihak yang membantu proses jual beli
tanah. Karena sudah dilakukan sejak dahulu kala dan secara turun temurun, maka
dianggaplah sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan, kebiasaan yang membudaya,
sehingga dianggap sebagai hukum.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa pologoro merupakan pembiasaan yang kemudian menjadi
kebiasaan sehingga naik derajatnya sebagai hukum yang apabila tidak dilakukan,
maka dianggap melanggar hukum. Karena pologoro merupakan produk pembiasaan yang
menjadi kebiasaan, biasanya sanksi yang diberikan lebih kepada sanksi sosial
dari masyarakat sekitar. Besaran pologoro juga tidak sama, tergantung dari
kesepakatan masyarakat dengan perangkat desa, biasanya dituangkan dalam surat keputusan
Badan Permusyawaratan Masyarakat Desa.
Demikian,
semoga berkenan.
Dasar Hukum:
3. Jual Beli Sebagian Tanah Hibah
Spoiler for Jual
Beli Sebagian Tanah Hibah:
Ceritanya begini. Agan
dan saudara agan punya sebidang tanah hibah dari orang tua. Sertipikat tanah
itu atas nama agan dan saudara agan. Suatu saat, saudara agan pengen jual
sebagian tanah yg jadi haknya itu dan kebetulan agan juga mau ngebelinya.
Langkah apa yg mesti agan lakuin? Apakah jual belinya sama seperti jual beli biasa?
Untuk mekanisme pembelian hak atas tanah yg dimiliki secara bersama2, pada dasarnya dpt dilakukan dgn tiga cara:
1. Jual beli dgn akta jual beli; atau
2. Akta pembagian hak bersama (APHB); atau
3. Hibah
JPenjelasan detil dan cara penghitungan pajaknya baca langsung di sini aja gan
Prosedur Jual Beli Sebagian Tanah Hibah
Langkah apa yg mesti agan lakuin? Apakah jual belinya sama seperti jual beli biasa?
Untuk mekanisme pembelian hak atas tanah yg dimiliki secara bersama2, pada dasarnya dpt dilakukan dgn tiga cara:
1. Jual beli dgn akta jual beli; atau
2. Akta pembagian hak bersama (APHB); atau
3. Hibah
JPenjelasan detil dan cara penghitungan pajaknya baca langsung di sini aja gan
Prosedur Jual Beli Sebagian Tanah Hibah
Prosedur Jual Beli Sebagian Tanah
Hibah
Selamat pagi Hukumonline. Saat ini
saya memiliki SHM yang merupakan hibah dari orang tua. SHM tersebut atas nama
dua orang yaitu saya dan adik saya. Apabila saya hendak memiliki SHM tersebut
secara utuh yaitu dengan membeli sebagian hak hibah yang dimiliki oleh adik
saya sehingga SHM menjadi milik saya saja, apakah prosesnya sama dengan proses
jual beli seperti biasa? Biaya-biaya apa saja yang akan muncul? Terima kasih.
irfansetyo13
Jawaban:
Salam.
Untuk
mekanisme pembelian hak atas tanah yang dimiliki secara bersama-sama, bisa
dilakukan dengan beberapa cara:
1. Jual beli atas bagian adik yang sejumlah ½ bagian tersebut
dengan menggunakan Akta Jual Beli (“AJB”); atau
2. Akta Pembagian Hak Bersama (“APHB”). Dengan pembuatan APHB
tersebut, pada prinsipnya hampir sama dengan jual beli biasa, namun jumlah
pengenaan pajak dan jumlah uang yang dibayarkan hanyalah ½ bagian dari hak adik
bapak/ibu atas tanah dimaksud (seperti pada poin 1 di atas); atau
3. Hibah atas hak/bagian adik yang sejumlah ½ bagian tersebut.
Hal ini dapat dilakukan jika memang tidak ada uang yang dibayarkan oleh
bapak/ibu kepada adik.
Walaupun
terdapat 3 metode tersebut, namun tetap saja untuk perhitungan pajaknya sama,
yaitu hanya ½ dari yang seharusnya dibayarkan.
Contohnya:
Harga
tanah Rp. 100jt. Karena dibeli haknya ½ bagian, maka pencantuman nilai AJB nya
sebesar Rp. 50jt.
Untuk
perhitungan pajaknya, hanya dikenakan ½ bagian dari yang seharusnya dibayar.
Untuk Pph = (Rp.100jt x
5% ) x ½
BPHTB
= {(Rp. 100jt – NJOPTKP) x 5% } x ½
Demikian
pula jika menggunakan mekanisme APHB ataupun Hibah. Meskipun yang ditempuh
adalah proses hibah, namun pengenaan pajaknya juga sama, dimana tidak ada
pembebasan PPh terhadap pemberi hibah. Karena hibah tersebut dilakukan antara
adik kepada kakaknya (garis ke samping), sedangkan yang dibebaskan dari pajak
hibah adalah hibah dari garis lurus ke atas dan ke bawah satu derajat (dari orang
tua ke anak atau sebaliknya).
Prosesnya
sama dengan proses jual beli seperti biasa, dimana ada pengecekan sertifikat
tanah, pembayaran pajak pembeli dan penjual, ada penyerahan uang,
penandatanganan AJB atau APHB, dan terakhir dilakukan balik nama sertifikatnya
yang semula atas nama 2 orang menjadi ke atas nama 1 orang saja. Lebih lanjut
mengenai balik nama, dapat dibaca dalam beberapa artikel berikut:
Demikian,
semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Purnamasari,
Irma Devita. Panduan Hukum Praktis Populer, Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam
Memahami Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).
4. Satu Sertifikat Hak Atas Tanah
Untuk Beberapa Pemilik
Spoiler for Satu
Sertifikat Hak Atas Tanah Untuk Beberapa Pemilik:
Misalnya Agan dan
teman-teman ber-10 berencana membeli sebidang tanah secara patungan. Pertanyaan
yang muncul: Apakah dimungkinkan untuk mencantumkan kepemilikan tanah tersebut
di satu sertifikat atas nama 10 orang?
Jadi gini Gan, hak atas tanah bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain, demikian yang diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”).
Ini berarti di dalam satu sertifikat bisa ada beberapa nama pemilik dari hak atas tanah tersebut, Gan. Terus, kepunyaan bersama itu nanti siapa yang pegang sertifikatnya? Masing-masing dapet satu atau hanya diterbitkan satu sertifikat?
Simak jawabannya di sini ya:
Satu Sertifikat Hak atas Tanah untuk Beberapa Pemilik
Jadi gini Gan, hak atas tanah bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain, demikian yang diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”).
Ini berarti di dalam satu sertifikat bisa ada beberapa nama pemilik dari hak atas tanah tersebut, Gan. Terus, kepunyaan bersama itu nanti siapa yang pegang sertifikatnya? Masing-masing dapet satu atau hanya diterbitkan satu sertifikat?
Simak jawabannya di sini ya:
Satu Sertifikat Hak atas Tanah untuk Beberapa Pemilik
Satu Sertifikat Hak atas Tanah untuk
Beberapa Pemilik
Terimakasih sebelumnya atas
kesempatan bertanya di Hukumonline. Saya ada rencana dengan rekan-rekan saya
untuk membeli sebuah properti secara patungan 10 orang. Yang mau saya tanyakan
apakah dimungkinkan untuk mencantumkan kepemilikan properti tersebut di
sertifikat atas nama 10 orang? Apakah ada batas maksimal kepemilikan bersama
atas sebuah properti di sertifikat? Terimakasih
Suhandaru
Jawaban:
Yang
dimaksud dengan sertifikat, menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah
(“PP 24/1997”), adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(“UUPA”) untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam
buku tanah yang bersangkutan.
Pasal
31 ayat (4) PP 24/1997 mengatur
bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama
beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang
diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis
para pemegang hak bersama yang lain.
Ini
berarti di dalam satu sertifikat bisa ada beberapa nama pemilik dari hak atas
tanah tersebut. Dalam pasal tersebut tidak diberikan batasan berapa nama yang
diperbolehkan sebagai pemilik dari hak atas tanah tersebut.
Lebih
lanjut dalam Pasal 31 ayat (5) PP 24/1997, dikatakan bahwa hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama dapat
diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan
kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta
besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut.
Sebagaimana
dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 31 ayat (5) PP 24/1997, dengan
adanya ketentuan ini tiap pemegang hak bersama memegang sertifikat yang
menyebutkan besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut.
Dengan
demikian masing-masing akan dengan mudah dapat melakukan perbuatan hukum
mengenai bagian haknya yang bersangkutan tanpa perlu mengadakan perubahan pada
surat tanda bukti hak para pemegang hak bersama yang bersangkutan, kecuali
kalau secara tegas ada larangan untuk berbuat demikian jika tidak ada
persetujuan para pemegang hak bersama yang lain.
Jadi
pada dasarnya dalam satu sertifikat dapat dicantumkan beberapa nama sebagai
pemegang hak bersama, atau untuk memudahkan masing-masing orang pemegang hak
bersama, dapat diterbitkan sertifikat bagi masing-masing orang.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
Hukum:
5. Cara Melakukan Oper Kredit Rumah
yang Aman
Spoiler for Cara
Melakukan Oper Kredit Rumah yang Aman:
Misalnya Agan membeli
rumah orang lain yang masih dalam proses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di bank
tapi tanpa diketahui bank. Nah, salah satu cara yang dilakukan itu oper kredit.
Apa sih oper kredit itu? Oper Kredit adalah dimana pembeli bertindak selaku
debitor pengganti atas penjual (debitor yang sebelumnya).
Kalau Agan bertindak selaku pembeli sebenarnya kedudukannya sudah relatif kuat tapi tidak sepenuhnya aman. Kuat karena yang menjual memang pemilik tanah dan bangunan. Kuat karena telah terjadi peralihan hak dengan cara yang dibenarkan oleh hukum pada saat ditandatanganinya akta-akta. Tidak aman karena tanpa sepengetahuan/tidak melibatkan bank. Oper kredit yang dilakukan oleh para pihak seharusnya disertai dengan pemberitahuan baik lisan maupun tulisan dengan menyerahkan salinan akta-akta yang telah ditandatangani kepada bank. Jika tidak melaporkan ke bank, sampai kapanpun bank akan menggangap debitor mereka adalah si penjual, walaupun kenyataannya angsuran di bayar/dilunasi oleh pembeli.
Kenapa harus lapor ke bank? Klik penjelasan selengkapnya di artikel:
Cara Melakukan Oper Kredit Rumah yang Aman
Kalau Agan bertindak selaku pembeli sebenarnya kedudukannya sudah relatif kuat tapi tidak sepenuhnya aman. Kuat karena yang menjual memang pemilik tanah dan bangunan. Kuat karena telah terjadi peralihan hak dengan cara yang dibenarkan oleh hukum pada saat ditandatanganinya akta-akta. Tidak aman karena tanpa sepengetahuan/tidak melibatkan bank. Oper kredit yang dilakukan oleh para pihak seharusnya disertai dengan pemberitahuan baik lisan maupun tulisan dengan menyerahkan salinan akta-akta yang telah ditandatangani kepada bank. Jika tidak melaporkan ke bank, sampai kapanpun bank akan menggangap debitor mereka adalah si penjual, walaupun kenyataannya angsuran di bayar/dilunasi oleh pembeli.
Kenapa harus lapor ke bank? Klik penjelasan selengkapnya di artikel:
Cara Melakukan Oper Kredit Rumah yang Aman
Cara Melakukan Oper Kredit Rumah
yang Aman
Mohon bantuannya. Teman saya membeli
rumah yang masih dalam proses KPR di bank. Proses pembelian ini tanpa diketahui
bank. Oleh notaris disarankan membuat 3 akta. Akta jual beli, akta kuasa, dan
akta kuasa pengambilan akta tanah di bank jika kredit sudah lunas. Apakah
dengan dibuat 3 akta ini kedudukan pembeli sudah kuat jika terjadi sengketa
kemudian hari?
jumaiki
Jawaban:
Proses
jual beli yang teman Anda lakukan tersebut, masuk dalam kriteria Pengoperan Hak
atas Tanah yang masih menjadi jaminan bank. Dalam praktik, biasanya dilakukan
dengan cara yang teman Anda lakukan, atau dengan cara Oper Kredit, dimana
pembeli bertindak selaku Debitor Pengganti atas Penjual (debitor yang
sebelumnya).
Dalam
kondisi seperti teman Anda di atas, maka kedudukan teman Anda selaku pembeli
sudah relatif kuat tapi tidak sepenuhnya aman. Kuat karena yang menjual
memang pemilik tanah dan bangunan. Kuat karena telah terjadi peralihan hak
dengan cara yang dibenarkan oleh hukum pada saat ditandatanganinya akta-akta
tersebut. Tidak aman karena tanpa sepengetahuan/tidak melibatkan bank, padahal
ada kondisi khusus yaitu tanah dan bangunan masih dalam ‘penguasaan’ bank
sebagai objek jaminan KPR.
Perbuatan
hukum oper kredit yang dilakukan oleh para pihak seharusnya disertai dengan
pemberitahuan baik lisan maupun tulisan dengan menyerahkan salinan akta-akta
yang telah ditandatangani kepada bank. Jika tidak melaporkan ke bank, sampai
kapanpun bank akan menggangap debitor mereka adalah si penjual, walaupun
kenyataannya angsuran di bayar/dilunasi oleh teman Anda.
Yang
terjadi kemudian, setelah teman Anda melunasi angsuran dan mau mengambil
sertifikat dan dokumen lainnya, walau menunjukkan kuasa, pihak bank tetap tidak
akan menyerahkannya. Segala dokumen pelunasan dan sebagainya, tetap harus
ditandatangani oleh orang yang namanya tercantum dalam database bank,
orang yang mereka ketahui sebagai debitor mereka, yaitu si penjual tersebut.
Lain
halnya jika para pihak secepat-cepatnya, setelah penandatanganan akta-akta,
bersama-sama melaporkannya kepada bank. Atas dasar akta tersebut, bank akan
mencatatkan oper kredit ke data mereka, nama teman Anda tercantum sebagai
debitor yang baru. Sehingga setelah angsuran terakhir lunas, teman Anda,
dengan menunjukkan asli kuasa pengambilan sertifikat, dapat melakukan proses
administrasi yang diperlukan sebagai rangkaian “melepaskan” tanah dan bangunan
sebagai objek jaminan. Pihak bank juga akan menyerahkan surat roya sebagai
dasar untuk meroya/mencoret status hak jaminan yang dibebankan ke kantor
pertanahan setempat. Proses roya ini dapat dibantu oleh PPAT setempat.
Kenapa
harus melapor ke bank? Hal ini untuk menghindari itikad buruk dari penjual,
karena bisa saja pada tanggal akhir pelunasan, ia mendatangi bank,
menyelesaikan segala proses administrasi, bank akan menyerahkan semua dokumen
terkait kepadanya dan penjual tidak menyerahkan ke teman Anda tetapi menjual
kembali ke orang lain. Jika hal ini yang terjadi, bank tidak dapat disalahkan,
karena tidak ada pemberitahuan oper kredit tersebut.
Jadi,
saran saya, segeralah bersama-sama melaporkan oper kredit tersebut ke bank,
jangan lupa membawa salinan dari akta-akta. Atau teman Anda dapat
menggunakan cara yang kedua, yaitu: oper Kredit dengan mekanisme penggantian
debitor melalui bank secara resmi.
Untuk
lebih jelasnya, bisa dilihat di artikel yang pernah saya tulis: “Sebelum Beli Rumah Secara Oper
Kredit, Pelajari Dulu Untung Ruginya“
dan juga tertulis dalam buku Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Dalam Mengatasi
Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).
Demikian, semoga bermanfaat.
6. Menuntut Kembali Kelebihan Luas
Tanah Dalam Jual Beli Tanah
Spoiler for Menuntut
Kembali Kelebihan Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah:
Jika jual beli belum
dilaksanakan, maka Agan bisa mengajukan permohonan pengukuran ulang pada kantor
pertanahan setempat sehingga diketahui secara pasti dan jelas berapa sebenarnya
luasan tanah yang menjadi hak Agan. Berdasarkan pengukuran ulang tersebut, jika
memang terjadi kekeliruan, maka Kepala Kantor Pertanahan akan melakukan
perbaikan/perubahan pada data fisik di buku tanah maupun di sertipikatnya.
Istilah pertanahannya: minta pengembalian batas.
Kalau tanahnya sudah bersertifikat, jika Agan tidak mengajukan permohonan untuk pengukuran ulang sebelum dilakukannya transaksi jual beli, maka asumsinya Agan Anda telah setuju untuk menjual tanah sesuai dengan luas yang tertera dalam sertipikat. Terhadap kelebihan tanah ini, coba Agan lihat kembali Akta Jual Beli (“AJB”). Gimana sih bunyi standar klausula dalam AJB itu? Simak:
Bisakah Menuntut Kembali Kelebihan Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah?
Kalau tanahnya sudah bersertifikat, jika Agan tidak mengajukan permohonan untuk pengukuran ulang sebelum dilakukannya transaksi jual beli, maka asumsinya Agan Anda telah setuju untuk menjual tanah sesuai dengan luas yang tertera dalam sertipikat. Terhadap kelebihan tanah ini, coba Agan lihat kembali Akta Jual Beli (“AJB”). Gimana sih bunyi standar klausula dalam AJB itu? Simak:
Bisakah Menuntut Kembali Kelebihan Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah?
Bisakah Menuntut Kembali Kelebihan
Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah?
Yth. Bapak saya menjual tanah seluas
9 are dan tanah tersebut sudah disertifikat oleh pembeli, pada waktu itu bapak
saya tidak mengukur tanah yg dijual tsb, setelah kami ukur luas tanah tersebut
lebih dari 9 are. Pertanyaan saya apakah saya bisa menuntut secara hukum ke
pihak pembeli tanah, karena si pembeli belum mau memberikan sisa dari 9 are,
alasan macam2? Terima kasih.
sopianaji
Jawaban:
Berdasarkan
pertanyaan Anda, kondisinya terjadi perbedaan luas tanah yang tertera dalam
sertipikat dan akta jual beli dengan kondisi faktual dilapangan terkadang
terjadi dalam praktik. Hal ini terutama jika proses pensertifikatan tanah
dilakukan secara sistemik (misal melalui PRONA).
Kami
berasumsi pensertifikatan tanah ini dilakukan dalam rangka pendaftaran tanah
secara sporadik. Menurut Pasal 77 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen
Agraria 3/1997”), pengukuran bidang tanah secara sporadik pada dasarnya
merupakan tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan.
Jika
sebelum jual beli dilaksanakan, maka bapak Anda dapat mengajukan permohonan
pengukuran ulang pada kantor pertanahan setempat, sehingga diketahui secara
pasti dan jelas berapa sebenarnya luasan tanah yang menjadi hak bapak Anda.
Berdasarkan pengukuran ulang tersebut, jika memang terjadi kekeliruan, maka
Kepala Kantor Pertanahan akan melakukan perbaikan/perubahan pada data fisik di
buku tanah maupun di sertipikatnya. Istilah pertanahannya: minta pengembalian
batas.
Namun
demikian, untuk tanah yang sudah bersertifikat, jika bapak Anda tidak
mengajukan permohonan untuk pengukuran ulang sebelum dilakukannya transaksi
jual beli, maka asumsinya bapak Anda telah setuju untuk menjual tanah sesuai
dengan luas yang tertera dalam sertipikat. Terhadap kelebihan tanah ini, coba
Anda lihat kembali akta jual beli (“AJB”) yang telah bapak Anda dan pembeli
tandatangani, di dalamnya mungkin terdapat pasal-pasal yang harus para
pihak patuhi terhitung sejak penandatanganan akta tersebut.
Dalam
klausula standar AJB, biasanya terdapat klausula yang menyatakan:
“Pasal 5
Dalam
hal terdapat perbedaan luas tanah yang menjadi obyek jual beli dalam akta ini
dengan hasil pengukuran oleh instansi Badan Pertanahan Nasional, maka para
pihak akan menerima hasil pengukuran instansi Badan Pertanahan Nasional
tersebut dengan tidak memperhitungkan kembali harga jual beli dan tidak akan
saling mengadakan gugatan.”
Hal
ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan jual beli
tanah dimaksud.
Demikian,
semoga bisa membantu.
Dasar Hukum:
Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
7. Membeli Tanah di Kompleks
Perumahan
Spoiler for Membeli
Tanah di Kompleks Perumahan:
Dalam hal agan atau
aganwati ingin membeli rumah di kompleks perumahan, tetapi agan bukan membeli
langsung dari developer, melainkan dari penjual (pemilik rumah) yang telah
membeli rumah itu sebelumnya dari developer, ada beberapa yang perlu agan
ketahui.
Perlu agan ketahui, nama yang terdapat dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) bisa berbeda dengan sertifikat kepemilikan hak atas tanah. Yakni, pembangunan dilakukan dengan dasar IMB atas nama pembeli, namun sertifikat hak atas tanah masih atas nama developer. Hal ini karena; (i) hak atas tanah belum dipecahkan dari sertifikat induk, sehingga belum dialihkan kepada pembeli, atau (ii) sertifikat sudah dipecah dari sertifikat induk namun belum dialihkan ke atas nama pembeli.
Dalam hal status jual beli rumah antara developer dengan pemilik rumah (pihak yang akan menjual kepada agan) masih dalam dasar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (”PPJB”), maka jual beli dapat dilakukan melalui prosedur pengalihan PPJB dari penjual kepada agan. Untuk itu, agan perlu mempelajari mengenai prosedur pengalihan PPJB sebagaimana yang diatur dalam PPJB jual beli rumah tersebut.
Tapi, jika status jual beli rumah tersebut sudah sampai dengan tahap Akta Jual Beli (“AJB”), yang mana ternyata penjual telah menandatangani AJB dengan developer di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), maka jual beli antara agan dengan penjual hanya bisa dilakukan setelah sertifikat hak atas tanah atas rumah tersebut sudah dibalik nama ke atas nama penjual.
Lebih lanjut silakan agan baca
Panduan Membeli Tanah di Kompleks Perumahan
Perlu agan ketahui, nama yang terdapat dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) bisa berbeda dengan sertifikat kepemilikan hak atas tanah. Yakni, pembangunan dilakukan dengan dasar IMB atas nama pembeli, namun sertifikat hak atas tanah masih atas nama developer. Hal ini karena; (i) hak atas tanah belum dipecahkan dari sertifikat induk, sehingga belum dialihkan kepada pembeli, atau (ii) sertifikat sudah dipecah dari sertifikat induk namun belum dialihkan ke atas nama pembeli.
Dalam hal status jual beli rumah antara developer dengan pemilik rumah (pihak yang akan menjual kepada agan) masih dalam dasar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (”PPJB”), maka jual beli dapat dilakukan melalui prosedur pengalihan PPJB dari penjual kepada agan. Untuk itu, agan perlu mempelajari mengenai prosedur pengalihan PPJB sebagaimana yang diatur dalam PPJB jual beli rumah tersebut.
Tapi, jika status jual beli rumah tersebut sudah sampai dengan tahap Akta Jual Beli (“AJB”), yang mana ternyata penjual telah menandatangani AJB dengan developer di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), maka jual beli antara agan dengan penjual hanya bisa dilakukan setelah sertifikat hak atas tanah atas rumah tersebut sudah dibalik nama ke atas nama penjual.
Lebih lanjut silakan agan baca
Panduan Membeli Tanah di Kompleks Perumahan
Panduan Membeli Tanah di Kompleks
Perumahan
Singkat saja, saya ingin tahu
informasi mengenai bagaimana untuk pengurusan pembelian properti dengan status
SHGB. Saat ini saya tertarik dengan salah satu properti di mana telah dimiliki
oleh Mr X. dari copy surat yang ada, diketahui adalah rumah tersebut masih SHGB
atas nama Developer. IMB sudah atas nama Mr. X. Saat ini saya belum melihat
informasi/copy dari PPJB antara Developer dengan pemilik (Mr. X). Pertanyaan
saya adalah, langkah apa yang harus ditempuh dan dokumen apa yang dibutuhkan
apabila saya berminat untuk membeli properti Mr. X ini? Apakah pihak notaris
bisa membantu? Terima kasih. Regards, John K.
JohnK123
Jawaban:
Berdasarkan
penjelasan dan pertanyaan Anda di atas, maka kami berasumsi bahwa properti yang
Anda ingin beli adalah rumah dan tanah yang berada di dalam kompleks perumahan
yang dibangun oleh developer. Dalam hal ini, sebelumnya penjual telah
membeli rumah tersebut dari developer yang membangun kompleks perumahan
tersebut.
Dalam
praktiknya, nama yang terdapat dalam Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”)
terkadang berbeda dengan sertifikat kepemilikan hak atas tanah. Hal ini
biasanya dapat ditemukan dalam praktik jual beli perumahan yang dijual oleh developer.
Yakni, pembangunan dilakukan dengan dasar IMB atas nama pembeli, namun
sertifikat hak atas tanah masih atas nama developer. Hal ini karena; (i)
hak atas tanah belum dipecahkan dari sertifikat induk, sehingga belum dialihkan
kepada pembeli, atau (ii) sertifikat sudah dipecah dari sertifikat induk namun
belum dialihkan ke atas nama pembeli.
Perbedaan
nama pada IMB dengan nama pada sertifikat hak atas tanah, secara prinsip
dimungkinkan berdasarkan asas pemisahan horizontal sebagaimana yang dianut
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan bangunan di
Indonesia. Permohonan IMB tidak harus mutlak dilakukan oleh pemilik hak atas
tanah, hal ini tercermin dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP No. 36/2005”), yang
menyebutkan bahwa setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status
kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun pihak lain. Dalam hal
tanahnya merupakan milik dari pihak lain, bangunan gedung hanya dapat
didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah atau
pemilik tanah.
Dalam
kebiasaannya, praktik jual beli rumah yang dilakukan antara developer
dengan pembeli akan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada tahap awal, pihak
pembeli akan melakukan pemesanan atas rumah yang akan dibelinya dengan
menandatangani surat konfirmasi pemesanan. Lalu, setelah itu dilanjutkan dengan
penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”), dan baru
dilanjutkan ke penandatanganan Akta Jual Beli (“AJB”) di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Karena
itu, Anda perlu terlebih dahulu meminta konfirmasi baik dari penjual maupun developer,
untuk mendapatkan informasi mengenai status jual beli atas rumah tersebut.
Dalam hal status jual beli rumah tersebut masih dalam dasar PPJB, maka jual
beli dapat dilakukan melalui prosedur pengalihan PPJB dari penjual kepada Anda.
Untuk itu, Anda perlu mempelajari mengenai prosedur pengalihan PPJB sebagaimana
yang diatur dalam PPJB jual beli rumah tersebut. Pada kebiasannya, pengalihan
PPJB harus dilakukan dengan sepengetahuan developer ditambah dengan
membayar biaya administrasi atas pengalihan tersebut. Setelah pengalihan PPJB
dilakukan, maka kemudian Anda akan menggantikan posisi penjual sebagai pihak
pembeli di dalam AJB dengan pihak developer.
Namun,
apabila status jual beli rumah tersebut sudah sampai dengan tahap AJB, yang
mana ternyata penjual telah menandatangani AJB dengan developer di
hadapan PPAT, maka jual beli antara Anda dengan penjual hanya bisa dilakukan
setelah sertifikat hak atas tanah atas rumah tersebut sudah dibalik nama ke
atas nama penjual.
Demikian
jawaban ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan
terima kasih.
Dasar hukum:
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
8. Pemecahan Sertifikat Tanah
Spoiler for Pemecahan
Sertifikat Tanah:
Dalam hal agan membeli
sebidang tanah dalam tanah induk, prosesnya pada dasarnya tidak rumit.
Dalam praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini, penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Perlu diketahuia bahwa pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas pemintaan pemegang hak yang bersangkutan.
Pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan diterbitkan sertifikatnya, maka agan dengan pihak penjual dapat menandatangani Akta Jual Beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk keperluan pendaftarannya.
Lebih lanjut mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan, silakan baca;
Prosedur dan Persyaratan Pemecahan Sertifikat Tanah
Dalam praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini, penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Perlu diketahuia bahwa pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas pemintaan pemegang hak yang bersangkutan.
Pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan diterbitkan sertifikatnya, maka agan dengan pihak penjual dapat menandatangani Akta Jual Beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk keperluan pendaftarannya.
Lebih lanjut mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan, silakan baca;
Prosedur dan Persyaratan Pemecahan Sertifikat Tanah
Prosedur dan Persyaratan Pemecahan
Sertifikat Tanah
Selamat malam hukum online, sudah
sekitar 10 tahun saya membeli tanah di Kota Gresik dan sudah lunas tapi hanya
diberi bukti kuitansi pelunasan saja sama penjualnya. Terus saya kuasakan orang
lain untuk urus suratnya dan penjual minta biaya mengurus surat sertifikat
sekitar Rp3 juta (katanya tanah induk) dan sudah saya lunasi. Tapi sudah hampir
1 tahun kok belum selesai. Padahal kata penjual sekitar 6-8 bulan selesai. Apa
membeli tanah dari tanah induk itu prosesnya rumit? Berapa lama selesainya?
Mohon penjelasannya, langkah-langkah apa yang harus saya lakukan?
buyung andrianto
Jawaban:
Berdasarkan
pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa antara para pihak belum menandatangani
Akta Jual beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”),
dan tanah yang menjadi obyek jual beli merupakan sebagian tanah dari
keseluruhan tanah yang dimiliki oleh penjual di dalam satu sertifikat (tanah
induk).
Pada
dasarnya, membeli sebidang tanah di dalam tanah induk tidaklah rumit. Dalam
praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya
melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini,
penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah
dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual
kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Sebagai informasi,
berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”),
pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas
pemintaan pemegang hak yang bersangkutan. Dengan demikian, Anda perlu kembali
mempelajari seluruh dokumen-dokumen jual beli tersebut, termasuk kuasa yang
diberikan ke pihak ketiga. Pasalnya, kewenangan untuk mengajukan permohonan
pemecahan sebidang tanah tersebut ada pada pihak penjual selaku pemegang hak
atas tanah.
Pada
hakikatnya, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan
jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, pada saat
sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan
diterbitkan sertifikatnya, maka Anda dengan pihak penjual dapat menandatangani
AJB di hadapan PPAT untuk keperluan pendaftarannya. Berdasarkan Lampiran II
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (“Perka BPN No. 1/2010”), jangka
waktu pemecahan/pemisahan satu bidang tanah milik perorangan adalah 15 (lima
belas) hari. Sedangkan, persyaratan dokumen yang dibutuhkan adalah sebagai
berikut:
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani
pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (yang memuat: identitas diri; luas,
letak dan penggunaan tanah yang dimohon; pernyataan tanah tidak dalam sengketa;
pernyataan tanah dikuasai secara fisik; alasan pemecahannya);
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila
dikuasakan, yangtelah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4. Sertifikat asli;
5. Izin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahan
penggunaan tanah;
6. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
7. Tapak kavling dari Kantor Pertanahan.
Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda.
Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Dasar hukum:
2. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan
9. Penandatanganan Akta Jual Beli
Rumah
Spoiler for Penandatanganan
Akta Jual Beli Rumah:
Pada dasarnya, mekanisme
kapan pelaksanaan penandatanganan Akta Jual Beli diatur di dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam praktiknya, penandatanganan Akta Jual Beli
(“AJB”) dilaksanakan apabila si pembeli telah melunasi seluruh harga pembelian atas
rumah maupun unit rumah susun yang dibelinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
AJB di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995
tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (“Kepmenpera”), yang menyatakan
bahwa AJB harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam hal:
1. bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni;
2. pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, serta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait; dan
3. proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah telah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual.
Penjelasan lebih lanjut, baca:
Aturan Penandatanganan Akta Jual Beli Rumah
1. bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni;
2. pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, serta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait; dan
3. proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah telah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual.
Penjelasan lebih lanjut, baca:
Aturan Penandatanganan Akta Jual Beli Rumah
Aturan Penandatanganan Akta Jual
Beli (AJB) Rumah
Selamat siang Bapak/Ibu di tempat.
Singkat saja, beberapa pertanyaan untuk pencerahan dan pemahaman hukum perdata
bagi saya dan rekan-rekan. Proses pembelian properti antara
developer/pengembang dan pembeli. 1. PPJB telah terjadi dan sepakat 2. Proses
pembayaran bertahap 3. Pembeli kesulitan keuangan 4. Mengajukan proses kredit
5. Bank pemberi kredit bekerja sama dengan pengembang dan proses pengajuan
kredit oleh pembeli disetujui. 6. Bank Mengajukan permintaan AJB, karena proses
AJB belum dilaksanakan 7. Karena bank berkehendak AJB maka timbullah
permasalahan tersebut. Permasalahan dan pertanyaannya adalah: 1. Pihak
developer ingin dilakukan pembayaran AJB dan proses AJB menunggu kurang lebih 3
bulan kemudian setelah pembayaran AJB dan semua tunggakan terselesaikan; Apakah
secara undang-undang dan hukum memang benar demikian? 2. Bank berkehendak pada
saat akad kredit langsung dapat dilakukan AJB oleh notaris yang ditunjuk
developer dan bank telah sepakat. Apakah hal ini dapat dilakukan? Pihak
developer keberatan, dan memang prosedurnya adalah setelah pembayaran uang AJB
diterima developer, maka baru proses AJB 3 bulan kemudian. Apakah benar notaris
akan kena denda, bila transaksi pembayaran dipindah dari pembayaran bertahap ke
developer menjadi kredit bank, tetapi AJB dilakukan terlebih dahulu? Mohon
pencerahannya dan bantuannya, saya ucapkan banyak terima kasih.
MSUTAN
Jawaban:
1. Pada dasarnya, mekanisme kapan pelaksanaan penandatanganan
Akta Jual Beli diatur di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”).
Untuk hal tersebut, kami berasumsi bahwa antara Anda dengan developer
(pengembang) telah melaksanakan PPJB, dan jual beli properti yang Anda maksud
di sini adalah jual beli rumah. Dalam praktiknya, penandatanganan Akta Jual
Beli (“AJB”) dilaksanakan apabila si pembeli telah melunasi seluruh
harga pembelian atas rumah maupun unit rumah susun yang dibelinya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan AJB di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (“Kepmenpera”),
yang menyatakan bahwa AJB harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam hal:
(i) bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni;
(ii) pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan
bangunan rumah, serta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait; dan
(iii) proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah telah selesai
diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual.
Untuk hal ini, Anda dapat melihat ketentuan mengenai
pelaksanaan AJB di dalam PPJB antara Anda dan developer. Tidak ada suatu
pengaturan hukum yang menyatakan bahwa AJB dilakukan dalam waktu kurang lebih 3
(tiga) bulan sejak pembayaran administratif AJB dan pelunasan atas
tunggakan-tunggakan terkait dengan jual beli tersebut.
2. Secara prinsip, bank yang memberikan Kredit Pemilikan Rumah
(“KPR”) akan menggantikan posisi si pembeli untuk membayar pembelian rumah
kepada penjual (developer). Dalam praktiknya, pelaksanaan akad KPR
dengan pelaksanaan AJB dapat dilakukan secara bersamaan. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan antara bank terkait dengan developer tersebut. Terlebih
dalam keterangan Anda, disebutkan bahwa bank tersebut memiliki kerja sama
dengan developer. Namun, yang perlu diperhatikan adalah, apakah
sertifikat tanah atas rumah Anda sudah dipisah/dipecahkan dari sertifikat tanah
induk, sehingga setelah AJB selesai dilaksanakan tanah tersebut dapat langsung
dijadikan jaminan melalui hak tanggungan oleh bank terkait. Hal ini perlu Anda
konfirmasi terlebih dahulu kepada developer, karena kemungkinan mengapa developer
menyatakan AJB dapat dilaksanakan kurang lebih 3 (tiga) bulan setelah
tunggakan-tunggakan telah dipenuhi adalah karena sertifikat tanah atas rumah
tersebut belum dipecahkan dari sertifikat tanah induk.
Demikian jawaban ini kami sampaikan.
Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih.
Dasar hukum:
Keputusan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
10. Pajak Jual Beli Tanah
Spoiler for Pajak
Jual Beli Tanah:
Dalam transaksi jual
beli tanah, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak. Untuk penjual,
dikenakan Pajak Penghasilan (“PPh”). Dasar hukum pengenaan PPh untuk penjual
tanah adalah Pasal 1 ayat (1) PP No. 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan”
Untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Selengkapnya, cekidot gan:
Pajak Jual Beli Tanah
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan”
Untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Selengkapnya, cekidot gan:
Pajak Jual Beli Tanah
Pajak Jual Beli Tanah
Apakah dalam jual beli tanah dan
bangunan, pihak penjual dan pembeli akan dikenakan pajak? Jika ya, bagaimana
cara perhitungannya dan bagaimana cara menghitungnya?
Gri Sanyoto
Jawaban:
Dalam
transaksi jual beli tanah, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak.
Untuk penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (“PPh”). Dasar hukum pengenaan PPh
untuk penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) PP No. 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan:
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib
dibayar Pajak Penghasilan”
Untuk
pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”), yaitu
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini
didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20 Tahun
2000 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
Perhitungan
pajaknya adalah berikut di bawah ini (dikutip dari buku “Panduan Lengkap
Hukum Praktis Populer Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum
Pertanahan”oleh Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.,hal 24):
|
Rumus
|
Dasar Hukum
|
|
Pajak Penjual (PPh) = NJOP/harga jual X 5 %
|
|
|
Pajak Pembeli (BPHTB) =
[NJOP/harga jual –NPTKP] X 5%
|
|
Daftar
istilah:
NJOP
: Nilai Jual Objek Pajak
NJOPTKP
: Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NPTKP/NPOPTKP
: Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak / Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak
Mengenai
NPTKP untuk perhitungan BPHTB adalah berbeda-beda untuk masing-masing
kabupaten/kota. Contoh:
DKI
Jakarta : Rp. 60.000.000,-
Kota
Bekasi : Rp. 30.000.000,-
Kota
Depok : Rp. 20.000.000,-
Kota
Bogor : Rp. 20.000.000,-
Untuk
mengetahui besaran NPTKP di wilayah Anda, hubungi Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setempat.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
11. Balik Nama Sertifikat
Spoiler for Balik
Nama Sertifikat:
Untuk proses balik nama,
lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada kelengkapan dokumen-dokumen yang
dipersyaratkan. Apabila dokumennya sudah lengkap, menurut situs resmi Badan
Pertanahan Nasional (BPN) waktu yang dibutuhkan kira-kira 5 hari.
Selengkapnya, cekidot gan:
Balik Nama Sertifikat Tanah
Selengkapnya, cekidot gan:
Balik Nama Sertifikat Tanah
Balik Nama Sertifikat Tanah
1. Saya kan balik nama sertifikat
sekaligus peningkatan hak (hak guna bangunan ke hak milik) 2. saya sudah coba
mengurus melalui kantor desa, tetapi sampai dengan saat ini belum ada kejelasan
tentang poses tersebut. Menurut mereka masih menunggu Validasi dan surat
keringanan pajak, sedangkan saya sudah membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan sejak 07 Juni 2010. 3. Apakah Proses balik nama itu harus ada
Validasi dan Surat Keputusan keringanan Pajak jika Saya sudah Membayar BPHTB,
dan berapa lama sebenarnya proses tersebut? Mohon bantuannya dengan sangat
amat, Terima kasih.
samiran_aja
Jawaban:
Menurut
Pasal 1 angka 1 UUNo. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (“BPHTB”) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sendiri adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Jadi,
dalam peralihan hak atas tanah, yang menerima hak atas tanah tersebut dikenakan
pajak berupa BPHTB. Pendaftaran tanah sendiri baru akan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan apabila BPHTB tersebut sudah dibayar lunas, yang dibuktikan dengan tanda bukti setor BPHTB tersebut.
Yang
dimaksud dengan validasi adalah proses untuk memastikan bahwa pajak atas
peralihan hak atas tanah tersebut benar telah dibayar.
Mungkin
yang Anda maksudkan adalah Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (“SKB
PPh”). Dalam peralihan hak atas tanah, ada Pajak Penghasilan (“PPh”) yang
harus dibayar oleh pemegang hak atas tanah sebelumnya. Hal ini didasarkan pada pasal
1 PP No. 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (“PP No. 48 Tahun 1994”).
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak
Penghasilan.”
PPh
ini dimungkinkan untuk dibebaskan, dengan SKB PPh. SKB PPh ini didasarkan pada Pasal
2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 30/PJ/2009 tentang Tata Cara
Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau Pemungutan Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Atas tanah dan Bangunan. Akan
tetapi, untuk keringanan pajak, kami tidak pernah mendengar diaplikasikan untuk
PPh peralihan hak atas tanah tersebut.
Untuk
proses balik nama, lamanya waktu yang dibutuhkan bergantung pada kelengkapan
dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Apabila dokumennya sudah lengkap, menurut
situs resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN) waktu yang dibutuhkan kira-kira 5
hari (selengkapnya lihat boks di bawah).
Boks: Layanan Pertanahanan
BPN à Peralihan Hak à Jual Beli
|
Peralihan
Hak - Jual Beli
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997
7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003
Persyaratan:
1. Surat:
a. Permohonan
b. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Jual Beli dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan
atau kuasanya yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
a. BPHTB;
b. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam
sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut
hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang
berwenang;
Biaya dan Waktu
1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat
2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.
Keterangan:
1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang
berwenang untuk itu, dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh
|
Demikian
hemat kami. Semoga bermanfaat.
12. Jual Beli Tanah Tanpa
Persetujuan Ahli Waris
Spoiler for Jual
Beli Tanah Tanpa Persetujuan Ahli Waris:
Seharusnya jual beli
tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang
mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan. Misalnya, jika
ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai
agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan
persetujuan.
Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
Dalam hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli waris, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya (karena yang sekarang memegang hak milik atas tanah tersebut yaitu para ahli waris).
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer, jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.
Selengkapnya, cekidot gan
Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris
Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
Dalam hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli waris, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya (karena yang sekarang memegang hak milik atas tanah tersebut yaitu para ahli waris).
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer, jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.
Selengkapnya, cekidot gan
Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris
Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan
Tanpa Persetujuan Ahli Waris
Pertanyaan saya ialah, apakah bisa
kita menarik kembali hak milik atas tanah yang telah kita jual? Karena tanah
tersebut ialah tanah warisan yang dalam surat jual beli tersebut tidak ada
surat tanahnya, dan surat jual beli tersebut belum ditandatangani oleh pewaris.
Terima kasih.
ASTERIAMAN NAZARA
Jawaban:
Berdasarkan
cerita Anda, pertama-tama perlu kami luruskan bahwa “pewaris” yang Anda maksud
mungkin pihak yang mendapatkan warisan, yang sebenarnya disebut dengan ahli
waris. Kami berasumsi bahwa yang Anda maksud tidak ada surat tanahnya adalah
bahwa jual beli tersebut tidak menyertakan sertifikat tanah yang sebenarnya
sudah ada, serta belum ditandatanganinya surat jual beli oleh pewaris kami
asumsikan bahwa tidak adanya persetujuan dari ahli waris mengenai jual beli
tanah warisan tersebut.
Perlu
diketahui bahwa dalam hal jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli tersebut
dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana terdapat
dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(“Permen Agraria 3/1997”). Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan
hak atas tanah karena jual beli tersebut (Pasal 73 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Dalam
proses jual beli tersebut, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi
Masalah Hukum Pertanahan (hal 17-21), sebagaimana kami sarikan, dalam
transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Data Tanah:
a. PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima
Setoran (bukti bayarnya);
b. Sertifikat Asli Tanah;
c. Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional);
d. Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada);
e. Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak
tanggungan.
2. Data Penjual dan Pembeli:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk suami/istri Penjual dan
Pembeli;
b. Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah;
c. Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.
Dibutuhkan
data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu benda (menjual
merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang memiliki hak milik atas benda
tersebut.
Hal
senada juga ditegaskan Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok
Hukum Perdata (hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang
paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu
benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau
hak orang lain.
Hal
ini juga didukung oleh Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”),
yang berbicara mengenai jual beli (pada dasarnya dalam jual beli tanah sama
dengan jual beli pada umumnya), yang secara implisit mempersyaratkan bahwa
penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual:
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat
memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan
bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Dalam
hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang
memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris (Pasal 833
ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPer):
Pasal 833
ayat (1)
Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat
hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Pasal 832
ayat (1)
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut
peraturan-peraturan berikut ini.
Oleh
karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli
waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat
pewarisan. Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya yang
berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris
(hal. 176-177), sebagaimana kami sarikan, mengatakan jika ingin dilakukan
penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank,
maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan.
Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris
pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut
dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris
setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
Dalam
hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli waris, maka
tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya (karena
yang sekarang memegang hak milik atas tanah tersebut yaitu para ahli waris).
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer di atas, jual beli
tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut
dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya
semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas
tanah tetap berada pada ahli waris.
Selain
itu, jual beli tanpa menyertakan sertifikat tanah juga bertentangan dengan
persyaratan dalam proses jual beli tanah.
Para
ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa
persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan
melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, yang
berbunyi:
“Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.”
Unsur-unsur
perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu
dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Yang
termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan
yang:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap
hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dalam
hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa persetujuan
ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli waris. Untuk
dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum, Anda
harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi semua
unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Hal
ini didukung juga dengan adanya Pasal 834 KUHPer, yang memberikan hak
kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya
terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan,
baik orang tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu
hak pun atas harta peniggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas
petitio.
Mengenai
apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal
itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan
bergantung pada putusan hakim. Lebih lanjut, mengenai gugatan perdata (termasuk
mengenai petitum), Anda dapat membaca artikel yang berjudul Tentang Posita, Petitum, Replik, dan
Duplik dan Membuat Surat Gugatan.
Pasal
1365 KUHPer jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar untuk
meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan
untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan
beserta segala hasil, pendapatan, dan anti rugi.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan
editor: Artikel jawaban ini telah disempurnakan pada 14 Januari 2013.
Dasar Hukum:
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.


Saya mau nanya dikit nih pada pakar sekalian. pada tahun 2012 saya beli ruko di golden palm tepatnya blok R 27 dari pemilik pertama berupa ppjb. Pembayaran lunas di depan notaris nilda sh pada tanggal 06-02-2013. Pada saat itu kami disuruh bayar biaya pengalihan nama dari pihak pertama ke pihak kedua sebesar 300rb untuk ppjb dan 63.218.182. yang disuruh transfer ke KSO. Binakarya Alty Investindo. Seingat saya pada saat itu 63.218.182 rupiah itu adalah sudah termasuk biaya pengalihan nama, ajb, dan sertipikat. Pada tahun 2012 itu PBB kami sebesar 306.600. Tapi sampai sekarang sertipikat kami belum keluar, dan kami tidak pernah dipanggil untuk penandatanganan ajb, malah disuruh untuk membayar biaya pelunasan aja sebesar 41.027.273 pada tahun 2014 dan42.177.509 tahun 2015 ini. kami kan heran karena pada tgl 04-02-2013 sehari sebelum penandatanganan pengalihan jual beli itu kami disuruh bayar 300rb utk ppjb dan 63,218.182 utk biaya pengalihan nama dan ajb. Tapi pihak binakarya berdalih dengan mengatakan biaya sebesar 63,218.182 itu hanya berupa biaya pengalihan nama saja bukan ajb. yang mau saya tanyakan dimana kami bisa mengadukan hal ini agar kami bisa mendapatkan hak kami. terima kasih bagi semuanya
BalasHapus